Daerahtersebut merupakan hutan lindung kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Hutan yang berada di kawasan TNGL masih memiliki hutan yang cukup baik. Berdasarkan peta tutupan lahan, sebagian besar hutan yang ada di kawasan ini merupakan hutan primer. Berdasarkan informasi pada Tabel 9, terdapat 8 kecamatan yang termasuk dalam
Rudi Putra adalah nama yang cukup dikenal dalam dunia konservasi. Kecintaannya pada hutan Leuser tidak perlu diragukan lagi. Sudah 20 tahun, lelaki ini bekerja untuk penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser, hutan seluas 2,6 juta hektar yang merupakan habitatnya badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan. Perjuangan Rudi menjaga hutan Leuser, termasuk merestorasi kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit ilegal, membuatnya mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize tahun 2014. Rudi bukan hanya pemimpin di Forum Konservasi Leuser, tapi juga rekan yang selalu bisa diajak berdiskusi, bahkan bercanda. Berkunjung dan bertemu dengan tim lapangan, tidak hanya dilakukannya untuk memantau pekerjaan, tetapi juga membangun keakraban. Rudi Putra adalah nama yang cukup dikenal dalam dunia konservasi. Lelaki kelahiran tahun 1977 di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh ini, telah 20 tahun bekerja untuk penyelamatan hutan dan satwa di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Hutan seluas 2,6 juta hektar yang merupakan habitatnya badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan. Rudi mengawali aktivitasnya di Unit Manajemen Leuser [UML], lembaga pelaksana program Leuser Development Program [LDP] yang merupakan lembaga kerja sama antara Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia. Berikutnya, ia pindah ke Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser [BPKEL] yang dibentuk Pemerintah Aceh untuk isu penyelamatan hutan Leuser. Hingga akhirnya, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Forum Konservasi Leuser [FKL], bekerja pada isu yang sama. Di sela pekerjaannya memimpin tim perlindungan tumbuhan dan satwa, Rudi berhasil menyelesaikan magister di jurusan Konservasi Biodiversitas Tropika di Institut Pertanian Bogor. Perjuangannya menjaga hutan Leuser, termasuk merestorasi kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit ilegal, membuatnya pada 2014 mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize, bersama lima pegiat lingkungan lainnya. FKL saat ini memiliki 28 tim yang setiap hari berpatroli di KEL. Patroli dilakukan bersama Polisi Hutan dari Balai Besar Taman Nasiongal Gunung Leuser maupun dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh. Rudi bukan hanya pemimpin, tapi juga rekan yang selalu bisa diajak berdiskusi, bahkan bercanda. Berkunjung dan bertemu dengan tim lapangan, tidak hanya dilakukannya untuk memantau pekerjaan, tetapi juga membangun keakraban. Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia bersama Rudi Putra, Ketua Dewan Pembina FKL, awal Juni 2021. Baca Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang Rudi Putra, sosok tanpa lelah menjaga hutan Leuser dari segala kerusakan. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Sejak kapan Anda bekerja pada upaya penyelamatan hutan Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser? Rudi Putra Saya mulai bekerja untuk konservasi di KEL sejak tahun 2000. Saya pertama kaki menjejak kaki di Leuser pada 1998, saat masih mahasiswa Biologi di Universitas Syiah Kuala [UNSYIAH] atas undangan Leuser Development Program atau Unit Management Leuser [UML]. Beruntung, kunjungan saya saat itu didampingi Prof. Carel van Schaik, ahli orangutan di dunia yang cukup terkenal. Dari pertemuan ini, tahun 1999 beliau memberikan saya beasiswa penelitian. Sebenarnya, saya ingin melanjutkan penelitian itu di tahun 2000, tetapi batal karena kondisi keamanan Aceh yang saat itu memanas. Bahkan, stasiun penelitian tempat kami melakukan riset dibakar orang tidak dikenal. Mongabay Di lembaga apa awal Anda bekerja? Rudi Putra Saya bekerja untuk Unit Manajemen Leuser [UML]. Ada kejadian lucu yang masih terbayang. Saat itu, saya pergi ke Medan, Sumatera Utara, untuk tujuan wawancara tahap akhir di lembaga lain. Selesai interview saya menyempatkan diri ke UML, untuk menjumpai beberapa teman yang saya kenal selama penelitian dulu. Ketika melihat kehadiran saya, seorang teman langsung berteriak dan menarik tangan saya, menuju ke sebuah ruangan. Saya dipertemukan dengan sekretaris yang menurut teman ini, telah mencoba berkali menghubungi saya. Hari itu juga, saya harus mengikuti pelatihan navigasi bersama Ecosytem Ranger, nama unit patroli satwa liar UML. Dengan senang hati saya menerima tantangan ini, walaupun tidak membawa bekal apapun. Beruntung, seorang kolega di kantor tersebut meminjamkan saya sleeping bag, jaket, tas, dan beberapa kebutuhan lainn, sehingga saya melawan cuaca dingin di lokasi pelatihan. Dari sini, saya ditugaskan sebagai supervisor. Sebuah keberuntungan bisa bekerja dengan unit ini, karena bisa bergabung dengan puluhan karakter manusia yang mendedikasikan setengah waktunya untuk mempertahankan Leuser. Mereka adalah cikal bakal patroli hutan yang saat ini dikenal sebagai Ranger. Baca Hutan Lindung yang Direstorasi Itu Jantungnya Aceh Tamiang Sudah 20 tahun, Rudi Putra menjaga Kawasan Ekosistem Leuser. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Kenapa Anda memilih bekerja pada isu penyelamatan hutan Leuser dan satwa? Rudi Putra Orang tidak akan mengenal Leuser sebelum menginjakkan kakinya di hutan luar biasa ini. Banyak tamu yang awalnya berkunjung hanya karena ditugaskan, tetapi sekembalinya mereka menjadi pencinta Leuser. Leuser adalah magic, bentang alamnya luas, satwanya sangat menakjubkan. Beberapa tempat di Leuser kami namakan Singgah Mata, memberi refreshing bagi mata dan pancaindra lainnya. Kami bisa menghabiskan waktu berjam, hanya untuk memandang hijaunya hutan dengan suara air, angin, dan satwa yang tiada henti. Bagi saya, keindahan alam dan kehidupan satwa di Leuser bukan hal paling menarik yang membuat saya untuk bekerja di sini. Fungsi Leuser sebagai bagian terpenting kehidupan masyarakat yaitu penyedia air, udara bersih, serta pencegah bencana ekologis adalah alasan utamanya. Mongabay Artinya? Rudi Putra Nilai terpenting Leuser adalah sebagai sumber penghidupan yang layak bagi jutaan penduduk Aceh dan Sumatera Utara. Leuser adalah air. Tanpa Leuser, kami akan kehilangan sumber daya air. Tidak ada kehidupan tanpa air. Leuser juga menghasilkan udara bersih yang kita hirup setiap hari. Leuser adalah paru-paru dunia. Bagaimana kita hidup tanpa oksigen? Menjaga Leuser adalah sebuah keharusan dan bentuk perbuatan amal baik kami. Baca Mereka Penjaga Hutan Aceh Tamiang Mengembalikan kembali fungsi hutan Leuser yang rusak akibat dirambah maupun ditanami sawit ilegal adalah pekerjaan berat yang dilakukan Rudi Putra bersama FKL. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Bagaimana kondisi Leuser saat ini? Rudi Putra Setiap hari di Leuser ada kabar buruk dan kabar baik. Kabar buruknya adalah deforestasi, penebangan liar, dan perburuan satwa masih terjadi. Kerusakan hutan di Leuser diperkirakan 20% dari 2,6 juta hektar. Tetapi, luas ini termasuk juga area penggunaan lain [APL] yang berada di KEL, yang sejak dulu sudah berupa kebun, permukiman, dan lainnya. Laju kerusakan ini dalam tren menurun. Dibandingkan 1990 – 2005, kerusakan saat ini jauh lebih kecil. Saat itu, ratusan truk raksasa mengangkut kayu-kayu dari Leuser menuju ke tempat pengolahan, setiap hari. Ratusan meter rakit kayu pun dihanyutkan setiap hari. Berdasarkan data Yayasan HAkA, pada 2015, kerusakan hutan di Leuser sekitar 13,690 hektar/tahun, luas ini turun menjadi 5,395 hektar pada 2019. Walaupun, HAkA mencatat kenaikan deforestasi tahun 2020 menjadi 7 ,331 hektar, yang diduga dampak COVID-19. Hal lain, kalau sebelumnya deforestasi disebabkan perusahaan besar terutama untuk sawit, saat ini bergeser menjadi perambahan-perambahan kecil dengan skala 1-5 hektar. Perburuan juga menurun drastis di lokasi-lokasi yang sudah dijaga. Satu kabar menggembirakan adalah kegiatan reforestasi yang masif, dilakukan di banyak tempat di Leuser. Ribuan hektar lahan yang dirambah, mulai dikembalikan kembali menjadi hutan melalui restorasi alam maupun pola agroforestry yang dikembangkan bersama masyarakat. Ribuan hektar lahan APL yang masih berhutan juga dapat dipertahankan. Mongabay Apa yang harus dilakukan agar Leuser tidak rusak? Rudi Putra Untuk menjaga Leuser pada dasarnya dengan meningkatkan proteksi. Tetapi aspek yang sangat penting adalah meningkatkan kesejahteraan dan pemahaman masyarakat tentang perlunya konservasi Leuser. Saatnya bukan hanya melarang tetapi juga bagaimana meningkatkan ketergantungan masyarakat untuk hutan. Banyak hasil hutan yang bisa dimanfaatkan masyaratkat seperti hasil hutan non-kayu yang bernilai tinggi. Saat ini banyak jenis-jenis tanaman komersial yang dapat ditanam di dalam hutan seperti jernang, dan lainnya. Baca juga Perjuangan Tanpa Batas Hadi S. Alikodra untuk Dunia Konservasi Indonesia Rudi Putra bersama tim FKL terus memberantas sawit ilegal yang berada di hutan lindung di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Bagaimana perkembangan restorasi yang telah FKL lakukan? Rudi Putra Restorasi di Leuser sangat menarik diamati dan menjadi lokasi termurah di dunia, sebab alam di Leuser sangat cepat mengembalikan dirinya tanpa intervensi manusia. Di Google Earth, kita bisa lihat di Leuser yang dulunya pernah di-clearing untuk areal logging atau perkebunan yang ditinggalkan, hanya dalam beberapa tahun areal itu kembali menjadi hutan dengan sendirinya. Kami meyakini, alam dapat mengembalikan dirinya sendiri tanpa intervensi manusia. Di sebuah tempat di Aceh Tamiang, kami telah menebang sawit ilegal seluas 425 hektar. Dalam waktu empat tahun, terjadi hal menakjubkan, lahan tersebut telah kembali menjadi hutan dan berbagai spesies satwa kembali mendatangi wilayah tersebut. Ini termasuk orangutan, harimau, beruang, dan lainnya. FKL sudah melakukan restorasi di lahan seluas hektar [kebun ilegal] dan sebagian besar berupa restorasi alami. Sebagian lahan ini masih berhutan, tetapi masif ditebangi sejak beberapa dekade lalu. Kami bernegosiasi dengan masyarakat untuk membebaskan lahan ini agar dialokasikan sebagai hutan yang dilindungi, di luar kawasan hutan. Di tempat-tempat lain kami menganti tanaman sawit, karet, dan coklat yang ditanami di kawasan hutan secara ilegal dengan tanaman agroforestry. Tentunya bersama masyarakat setempat setelah mendapat izin pemerintah. Sebagian kawasan ini juga dialokasikan untuk restorasi alami, tanaman ilegal dimusnahkan dan lahan dibiarkan saja, hingga bibit-bibit alami tumbuh sendirinya. Memang, pola agroforestry ini tidak bisa mengimbangi hutan alam, tapi jauh lebih baik dibandingkan kebun. Di dalam kebun, biasanya hanya 2-3 jenis tanaman, namun dengan pola ini bisa ditanami 20-30 jenis tanaman, termasuk sebagian jenis tanaman hutan. Paling penting, pola agroforestry bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Di Tenggulun, Aceh Tamiang, kegiatan ini telah menekan kegiatan ilegal hingga 90 persen. Kawasan Ekosistem Leuser tidak hanya penting bagi kehidupan 4 juta masyarakat yang hidup di sekitarnya, tetapi juga habitat utama gajah, harimau, badak, dan orangutan sumatera. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Bagaimana kondisi satwa terancam punah di Leuser? Rudi Putra Beberapa satwa memang semakin jarang terlihat seperti beberapa jenis burung [rangkong, murai, poksay, dan lainnya. Mereka sangat mudah diburu dengan senjata atau perangkap. Tetapi, sebagian besar satwa terancam punah di tempat lain kelihatan aman dan berkembang dengan baik, seperti orangutan dan harimau yang selalu kami amati perkembangannya. Mengenai gajah, ada masalah dengan populasinya karena mereka juga berada di lahan-lahan yang di klaim sebagai kebun masyarakat atau perusahaan. Akibatnya, terjadilah konflik manusia dengan gajah yang berakhir terbunuhnya satwa. Kami saat ini, membantu Pemerintah Aceh agar dapat melakukan upaya pembagian ruang antara masyarakat dengan satwa, termasuk gajah, sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Mongabay Apa ancaman terbesar kehidupan satwa di hutan Leuser? Rudi Putra Hilangnya habitat dan perburuan. Kehilangan habitat menyebabkan satwa berpindah ke tempat lain atau malah terbunuh. Ancaman terhadap satwa dapat ditekan dengan meningkatkan proteksi. Kami mengamati, di beberapa tempat yang dulunya tidak terjaga dengan baik biasanya perburuan dan kegiatan ilegal sangat tinggi. Tetapi, seiring meningkatnya patroli, angka kegiatan ini menurun drastis. Di sebuah tempat di selatan Leuser, perburuan menurun hingga 90% setelah tim patroli dan stasiun pengamatan diaktifkan. Membentuk unit monitoring kerusakan hutan yang terkoneksi dengan pemegang otoritas juga perlu dilakukan, sehingga kegiatan ilegal bisa langsung dilaporkan dan segera ditindaklanjuti. Badak sumatera yang hidupnya berpacu dengan kepunahan. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Mengenai badak Sumatera, bagaimana kondisinya di Leuser? Rudi Putra Badak di Leuser terbagi dua lokasi. Di lokasi satu, populasinya berkembang baik meskipun jumlahnya sedikit. Di lokasi dua, populasinya malah tidak berkembang sama sekali, tidak ada indikasi anak yang dilahirkan dalam beberapa tahun. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu upaya penyelamatan. Mongabay Untuk badak-badak yang tidak mungkin berkembang biak secara alami, apa yang mendesak dilakukan? Rudi Putra Tindakan mendesak dilakukan adalah menangkap dan memindahkan mereka ke fasilitas breeding center yang sudah ada, maupun yang akan dibangun. Tidak ada gunanya membiarkan mereka di alam liar, sebab mereka akan punah sendirinya bila tidak ada indikasi kelahiran. Kalau pun ada breeding dengan populasi sangat kecil, juga akan menyebabkan kepunahan walaupun dalam jangka waktu lama. Kondisi ini tidak baik bagi populasi untuk jangka panjang. Rudi Putra bersama tim Ranger yang selalu berpatroli mengamankan hutan Leuser. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Pembangunan SRS di Aceh, bagaimana perkembangannya? Rudi Putra Saat ini masih tahap finalisasi desain dan persetujuan pemerintah untuk lokasi yang akan dibangun. Diharapkan, dalam beberapa bulan mendatang, fasilitas ini selesai dibangun dan siap dioperasikan untuk konservasi badak. Mongabay Bagaimana konsepnya? Rudi Putra Konsep SRS ini adalah bagaimana menghasilkan anak badak sebanyak-banyaknya untuk kemudian disilangkan dengan individu-individu lain dengan variasi genetik berbeda. Ketika jumlah individu sudah mencukupi, tahap selanjutnya adalah mengembalikannya ke alam. Tentunya, di tempat-tempat yang terkontrol hingga kemudian siap dirilis di habitat yang lebih luas. Banyak tempat yang dulunya ditemukan badak namun saat ini hilang, yang dapat menampung badak-badak hasil perkembangbiakan ini. Rudi Putra saat mendampingi Leonardo DiCaprio, pada 26-27 Maret 2016, di Conservation Response Unit [CRU] Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. CRU ini terletak di hutan lindung yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Foto Dok. Paul Hilton Mongabay Harapan Anda terkait lingkungan? Rudi Putra Saat ini, tuntutan menjadikan bumi kembali hijau menggema. Kebutuhan atas barang yang diproduksi secara lestari meningkat dan gerakan penggunaan energi hijau pun semakin banyak. Di banyak negara, kegiatan reforestasi pun pesat, bahkan gurun pasir sudah mulai dihijaukan. Apa artinya? Jangan sampai kita, negara yang memiliki hutan luas, justru berjalan pada arah sebaliknya. Kita, seluruh masyarakat Indonesia dan generasi muda harus peduli untuk bergerak, menjaga lingkungan. Tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan bumi. Artikel yang diterbitkan oleh aceh, ekosistem leuser, featured, Hidupan Liar, hutan indonesia, kerusakan lingkungan, konservasi badak, perambahan, Satwa Liar, sumatera, tokoh inspiratif
1200m - 1800 m = Hutan montane bawah ( Tumbuhan oak, paku-pakis, orkid ) 1800 m - 2900 m =Hutan montane atas ( Tumbuhan epifit, periuk kera, konifer ) 2900 m - 3500 m = Tumbuh-tumbuhan sub-alps. 3500 dan ke atas = Tumbuh-tumbuhan alps. · Hutan gunung terdapat di kawasan yang ketinggiannya melebihi 1,200 meter dari aras laut.
? Taman Nasional Gunung Leuser TNGL berada di perbatasan Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Di Nangroe Aceh Darussalam, TNGL berada di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Gayu Luwes dan di Sumatera Utara berada di Kabupaten Langkat. Taman Nasional Gunung Leuser diambil dari nama Gunung Leuser yang mempunyai ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut. Taman Nasional yang terkenal kecantikannya ini meliputi ekosistem asli dari pantai hingga pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang bertujuan untuk penelitian, ilmu pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser mempunyai 3 manfaat yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan, sebagai tempat pengawetan keanekaragaman berbagai jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan panorama alam dan ?paru-paru? dunia yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai cagar alam nasional sejak tahun 1980 dan ditetapkan sebagai warisan dunia Cagar Biosfir oleh UNESCO pada tahun 2004. Hutan Gunung Leuser sangatlah lebat, seperti hutan pantai dan hutan hujan tropika. Di dalamnya terdapat beberapa sungai, danau, sumber air panas, lembah, dan air terjun. Ekosistem di dalamnya terdapat dataran rendah pantai hingga pegunungan. Terdapat bermacam satwa langka dan dilindungi terdapat disini, seperti kucing hutan, harimau sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, rangkong, orang utan, siamang, ular, kupu-kupu, burung, kambing hutan dan rusa sambar. Selain itu terdapat pula tumbuhan langka semacam tumbuhan pencekik atau ara dan buang raksasa ?Rhizanthes Zippelnii? yang berdiameter meter, bunga Raflesia dan daun payung raksasa. Terdapat enam lokasi utama wisata di Taman Nasional Gunung Leuser, yaitu Bojorok atau Bukit Lawang yang sangat terkenal sebagai kawasan konservasi orang utan. Kluet yang terkenal dengan wisata goanya dan wisata bersampan di danau dan sungai. Gunung Leuser juga sering digunakan untuk lokasi wisata petualangan seperti mendaki dan memanjat gunung. Sungai alas yang sering digunakan sebagai lokasi wisata olahraga arum jeram. Hutan Sekunder yang rajin dijadikan tempat perkemahan, pengatan satwa, dan wisata goa. Yang terakhir adalah Gurah, sebuah lokasi untuk menikmati panorama alam yang sangat indah dengan berbagai tumbuhan unik dan langka, sekaligus tempat pengamatan berbagai satwa yang langka dan dilindungi. Akses menuju Taman Nasional Gunung Leuser dapat melewati jalur Medan ? Kutacene yang berjarak sekitar 240 km atau 8 jam dengan mobil, Kutacene ? Guran/Ketambe yang mempunyai jarak lebih kurang 35 km atau 30 menit dengan mobil, Medan ? Bohorok/Bukit Lawang berjarak sekitar 60 km atau selama 1 jam dengan mobil, Medan ? Sei Betung/Sekundur jaraknya sekitar 150 km atau 2 jam dengan mobil, Medan ? Tapaktuan sekitar 260 km atau 10 jam perjalanan dengan mobil.
| Ոናузв охрулейиμа | Уносте цоδቅፄաፒաշ |
|---|
| Րεጪуσε ф жሲдո | Б βу |
| ጅклαфուժяй ωςиγоδеք оለጹжавևրаց | Иկоц х |
| Ухըր щևሯускο ζоፔι | Իγኁχ ንхиփе |
| Кሗйυщо едυδе ሐ | Рыδሠме ζαгиհ ςዪсуኚ |
5orangutan dievakuasi ke hutan Gunung Leuser ©2017 kita me-release 2 individu itu, tim kembali menerima informasi mengenai keberadaan 3 individu orangutan di Dusun Kermal, Desa Tenggulun, Aceh Tamiang," jelas Panur. Mendapat informasi itu, tim sepakat melakukan upaya evakuasi keesokan harinya, yaitu Kamis (13/7).
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di Aceh. Kawasan dengan luas lahan hektar ini mencakup berbagai tipe ekosistem, sehingga berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang dapat dijumpai sangat beragam. Bentangan alam di TNGL juga sangat mempesona, terlebih lagi beberapa area kawasan ini pada mulanya adalah tempat wisata. Hal tersebut menjadi nilai tambah tersendiri, sehingga sayang untuk melewatkan panorama taman nasional ini. Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Kondisi Alam Taman Nasional Leuser 1. Letak dan Topografi 2. Iklim dan Hidrologi 3. Ekosistem dan Zonasi Flora dan Fauna Taman Nasional Leuser 1. Flora 2. Fauna Kegiatan dan Destinasi Wisata 1. Sungai Alas 2. Hutan Rekreasi Gurah 3. Hutan Sekundur 4. Suaka Margasatwa Kluet 5. Stasiun Rehabilitasi Orangutan 6. Gunung Leuser 7. Pendakian Gunung Kemiri 8. Gunung Simpali 9. Gunung Perkinson 10. Lau Pengurukan Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Sebenarnya pengusulan pembentukan taman nasional di kawasan Aceh Barat sudah terjadi sejak lama. Diketahui bahwa pada tahun 1928 FC Van Heurn telah mengusulkan daerah Alas, Kluet, Sungai Tripa, dan seluruh tipe ekosistem seluas total hektar kepada pihak Belanda selaku pemerintah kala itu. Pada tahun 1934 A Ph Van Ahen, Gubernur Aceh, mendirikan Suaka Alam dari Gunung Leuser seluas hektar. Setelah itu kawasan konservasi di sekitarnya juga ditetapkan, yaitu Suaka Margasatwa Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Kluet, Suaka Margasatwa Langkat, dan Suaka Margasatwa Sikundur. Selanjutnya pada bulan Desember 1976 kawasan konservasi tersebut diperluas dengan menambahkan Suaka Margasatwa Kappi, Taman Wisata Sikundur, dan Taman Wisata Lawe Gurah. Tidak lama kemudian, status kawasan konservasi yang terdapat di Gunung Leuser kemudian menjadi Taman Nasional Gunung Leuser. Keputusan tersebut dikeluarkan berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian dengan menambahkan Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas hektar, sehingga total keseluruhan taman nasional menjadi hektar. Kondisi Alam Taman Nasional Leuser 1. Letak dan Topografi Secara geografis Taman Nasional Gunung Leuser terletak pada koordinat antara 02°55’ – 04° 05’ Lintang Utara dan 96° 30’ – 98° 35’ Bujur Timur. Sementara secara administratif kawasan ini berada di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo. Kelima kabupaten tersebut meliputi wilayah di dua provinsi, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Adapun kondisi topografi di taman nasional ini yaitu datar, berbukit, bergunung-gunung, sampai dengan curam. 2. Iklim dan Hidrologi Suhu udara rata-rata di Taman Nasional Gunung Leuser antara 21,1° – 27,5° Celcius dengan curah hujan berada pada kisaran – mm per tahun. Curah hujan paling tinggi berada di kawasan Leuser dan Simpali, sedangkan yang paling rendah di kawasan Lembah Alas yang hanya mm. Adapun musim penghujan berlangsung sepanjang tahun, tanpa kemarau yang berarti. Kelembaban udara di kawasan ini berada di antara 62% – 100% atau rata-rata per tahunnya 86,9%. Sungai yang mengalir di taman nasional ini yaitu Sungai Alas dan Sungai Mammas, serta anak sungai yang berada di deretan Leuser-Simpali dan juga Alas bagian barat. 3. Ekosistem dan Zonasi Beberapa tipe ekosistem yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser yaitu ekosistem mangrove atau bakau, ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, ekosistem hutan tropis pegunungan, serta ekosistem pegunungan sub-alpin. Ada delapan zona yang diterapkan oleh pihak taman nasional dalam mengelola kawasan ini. Kedelapan zona tersebut adalah zona inti, zona riba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona religi, zona khusus, dan juga zona abu-abu. Flora dan Fauna Taman Nasional Leuser Ada banyak sekali ragam flora dan fauna yang dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Leuser. Mulai dari spesies yang familiar dan kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, kelompok endemik Pulau Sumatera, sampai spesies yang tergolong langka dan hampir punah. 1. Flora Jumlah flora yang berhasil diidentifikasi di Taman Nasional Gunung Leuser lebih dari jenis tumbuhan. Flora tersebut juga bervariasi mulai dari pohon dengan buah yang dapat dikonsumsi hingga tumbuhan jenis langka. Steemit Kelompok tumbuhan dengan buah yang dapat dimakan antara lain dua spesies durian hutan Durio exyleyanus dan Durio zibethinus, rambutan hutan Nephelium lappaceum, jeruk hutan Citrus macroptera, duku Lansium domesticum, rambai Baccaurea montleyana, dan juga menteng Baccaurea racemosa. Selain itu juga ada rukem Flacourtia rukem, limus yang memiliki buah seperti mangga Mangifera foetida dan Mangifera guardrifolia. Semua spesies tersebut adalah sumber plasma nutfah yang memiliki prospek jangka panjang yang cerah untuk dikembangkan. Flora langka yang tumbuh di taman nasional yang berasal dari kawasan Gunung Leuser yaitu pohon payung raksasa Johanesteisjmania altifrons, liana dengan bunga parasit yang diameternya bisa mencapai 1,5 meter Rhizanthes zippelnii, dan juga Rafflesia atjehensis. Dapat pula dijumpai anggrek sepatu Paphiopedilum liemianum dan kantong semar Nepenthes sp.. 2. Fauna Tercatat ada lebih dari 127 jenis mamalia yang menghuni kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Sementara itu kelompok aves diketahui berjumlah 387 jenis dengan 350 spesies yang menetap. Bahkan juga diketahui ada sekitar 89 spesies satwa yang tergolongkan langka hidup di taman nasional ini. Pixabay Beberapa spesies langka tersebut adalah badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, orangutan atau mawas Pongo abelii, rusa sambar Cervus unicolor, kucing hutan Prionailurus bengalensis-sumatrana, dan siamang Hylobates syndactylus. Sementara itu ada pula kambing hutan Capricornis sumatraensis, rangkong Buceros bicornis, serta gajah Sumatera Eephas maximus-sumatranus dan harimau Sumatera Panthera tigris-sumatrae yang merupakan dua spesies endemik di Pulau Sumatera. Adapun satwa lain yang juga dapat dijumpai di Taman Nasional ini yaitu tupai Callosciurus albescens, kelinci Sumatera Nesolagus netscheri, ungko atau kedih Presbytis thomasi, dan tikus hoogerwerfi Rattus hoogerwerfi. Kelompok reptil yang paling banyak dijumpai di kawasan ini adalah spesies buaya Crocodillus sp. dan juga ular berbiasa. Adapula jenis ikan endemik yang hidup di Sungai Alas yaitu ikan jurung Tor sp., ikan ini memiliki ukuran panjang yang bisa mencapai 1 meter. Kegiatan dan Destinasi Wisata Ada banyak sekali obyek wisata yang dapat dikunjungi di Taman Nasional Gunung Leuser. Oleh sebab itu berbagai kegiatan pun dapat dilakukan dengan lebih menyenangkan di kawasan ini. Mulai dari kegiatan yang sederhana seperti pengamatan satwa, sampai yang cukup ekstrem seperti arung jeram dan mendaki gunung. 1. Sungai Alas Salah satu sungai yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser adalah Sungai Alas. Sungai ini biasanya digunakan oleh para pengunjung untuk melakukan olahraga arung jeram. Sambil berarung jeram menyusuri aliran air deras dan ganas yang menuju Kabupaten Aceh Selatan, pengunjung juga dapat menikmati pesona dari hutan tropis serta pemukiman tradisional masyarakat di tepian sungai. 2. Hutan Rekreasi Gurah Hutan Rekreasi Gurah atau juga biasa disebut sebagai Taman Wisata Lawe Gurah merupakan salah satu lokasi yang menarik untuk dikunjungi di taman nasional ini. Panorama yang dimiliki hutan ini sangat mempesona dengan berbagai jenis flora, danau, air terjun, lokasi pengamatan satwa, dan juga sumber mata air panas. Pihak pengelola wisata juga telah menyediakan trek khusus untuk pengunjung yang ingin trekking. Trekking dimulai di Gurah, kemudian berlanjut sampai ke sumber mata air panas yang berada di dekat Sungai Alas. Waktu yang dibutuhkan biasanya sekitar dua jam dengan jarak sejauh 5 km. Ada juga menara pandang yang dapat digunakan pengunjung mengamati kehidupan yang ada di hutan hujan Leuser. Selain itu jika pengunjung ingin menikmati sensasi hidup menyatu dengan alam, maka dapat berkunjung ke area perkemahan yang berlokasi di kawasan hutan atau dapat menginap di guest home. 3. Hutan Sekundur Selain Hutan Rekreasi Guruh, ada juga Hukan Sekundur yang berada di Sekundur, Langkat, Sumatera Utara. Kawasan seluas hektar ini memiliki gua alam serta panorama yang masih begitu alami. Apabila datang di waktu yang tepat, pengunjung dapat berjumpa dengan berbagai spesies satwa liar seperti gajah dan rusa. Selain itu, pengunjung bisa camping juga di kawasan sini. 4. Suaka Margasatwa Kluet Suaka Margasatwa Kluet merupakan kawasan yang didominasi oleh ekosistem hutan pantai seluas hektar. Oleh sebab itu kegiatan yang cocok dilakukan di sini adalah bersampan di sungai dan danau, menikmati panorama alam di pantai, serta menjelajahi gua alam. Meskipun begitu sebagai habitat harimau Sumatera, pengunjung dihimbau untuk berhati-hati. 5. Stasiun Rehabilitasi Orangutan Pusat rehabilitasi satwa langka orangutan ini memiliki luas sekitar 200 hektar dan berlokasi di antara Bahorok dan Bukit Lawang, Langkat, Sumatera Utara. Menariknya tidak hanya orangutan yang bisa dijumpai di sini, melainkan juga berbagai spesies dan kelompok primata lainnya 6. Gunung Leuser Gunung Leuser merupakan puncak gunung tertinggi yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, nama kawasan taman nasional juga diambil dari gunung ini. Ketinggiannya mencapai meter di atas permukaan laut. Mongabay Sebagai gunung tertinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncaknya adalah sekitar 14 hari. Meskipun begitu pengunjung harus memastikan fisik dan mental sudah kuat karena perjalanannya cukup berat. Pendakian dimulai dari Desa Angusan yang berada di bagian sebelah barat Blangkejeren. 7. Pendakian Gunung Kemiri Gunung Kemiri adalah puncak gunung tertinggi kedua yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser. Ketinggian gunung ini mencapai meter di atas permukaan laut. Pengunjung yang menyukai petualangan alam dapat mendaki puncak gunung ini dengan waktu sekitar lima sampai enam hari. Sepanjang perjalanan pengunjung akan menjumpai berbagai satwa seperti siamang, gibon, dan juga orangutan. 8. Gunung Simpali Puncak gunung lain yang dapat didaki ini berada pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Lama waktu yang dibutuhkan untuk mendaki Gunung Simpali sekitar satu pekan dengan titik awal berada di Desa Engkran, lalu menyusuri Lembah Lawe Mamas. Lembah ini menjadi lokasi habitat dari salah satu hewan langka yaitu badak. Terdapat pula Sungai Lawe Mamas yang mempunyai arus sangat deras, sehingga menjadi tantangan sendiri bagi para pengunjung. Sungai ini bersatu dengan Sungai Alas yang berlokasi sekitar 15 km di bagian utara Kuracane. 9. Gunung Perkinson Salah satu keberuntungan bagi pengunjung yang mendaki ke puncak Gunung Perkinson adalah salah satu titik perjalanan akan dijumpai bunga unik dan langka, Rafflesia. Bunga ini tumbuh di kawasan yang berada pada ketinggian sekitar meter di atas permukaan laut serta hutan lumut yang mempesona. Lama waktu tempuh untuk mendaki puncak gunung setinggi meter di atas permukaan laut adalah sekitar tujuh hari. 10. Lau Pengurukan Lau Pengurukan adalah surga bagi pengunjung yang tertarik menjelajahi gua alam. Pasalnya di kawasan ini ada banyak sekali gua seperti Gua Pintu Air. Gua Pintu Angin yang merupakan gua terpanjang dengan lorong sejauh 600 meter berlubang vertikal. Ada pula Gua Palonglong yang juga mempunyai lubang vertikal, Gua Patu, Gua Pasar, Gua Rizal, Gua Pamuite, dan Gua Pasugi. Cara untuk mencapai lokasi ini jika tidak membawa kendaraan pribadi yaitu dimulai dari kota Medan dengan menumpangi bus jurusan Bukit Lawang. Setelah itu pengunjung dapat menyewa mobil yang biasanya berjenis Jeep Land Rover. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Dusun Tanjung Naman sekitar satu jam. Setelah itu barulah berjalan kaki menuju Lau Pengurukan kurang lebih dua jam.
ZonaMontane (termasuk zona sub montane,terletak 1000 - 1500 mdpl). Zona montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi hanya berkisar antara 10 - 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.
Gloria Samantha Pembangunan pemukiman baru di sekitar hutan Leuser di Aceh Tenggara, yang diakomodir dalam RTRW Aceh - Taman Nasional Gunung Leuser TNGL menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2014 memiliki luas sebesar hektar yang meliputi 5 kabupaten di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Hutan ini menjadi habitat bagi flora dan fauna yang dilindungi seperti bunga raflesia, anggrek sepatu, orangutan, badak sumatera, harimau sumatera, dan siamang. Namun, hingga 2019, taman nasional tersebut kehilangan hektar luas hutannya. Melansir dari Mongabay, fenomena pengurangan luas hutan di TNGL disebabkan oleh penebangan liar oleh masyarakat sekitar-baik untuk pembalakan kayu maupun untuk perkebunan. Baca Juga Sembuhkan Lingkungan Laut, Para Ilmuwan Punya Rencana Dalam 30 Tahun Fenomena ini tambah berisiko ketika musim kemarau tiba, saat pemilik perkebunan mengalami kekurangan air. Hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat di sekitar TNGL menjadikan kebun ilegal, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. “Hal yang sering terjadi, saat ada masyarakat membuka lahan, mereka tidak dilarang atau ditindak. Namun, saat masyarakat mulai menanam atau hampir panen, baru ada penertiban yang tentunya menimbulkan perlawanan,” terang Samsul bahri, warga Kutacane yang bekerja sebagai petani perkebunan. Pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser BBTNGL, Sudiro, mengatakan bahwa kegiatan pembalakan hutan ilegal sering terjadi, tapi petugas BBTNGL juga beberapa kali melakukan penertiban. Sudiro mengakui bahwa maraknya pembalakan liar disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan TNGL. “Kurangnya pemahaman masyarakat menjadi penyebab terjadinya kegiatan ilegal. Namun, kami tetap berupaya memberikan pengertian,” terangnya. Baca Juga Pegunungan Himalaya Terlihat Dari India, Pertama Kalinya dalam Beberapa Dekade Isu ini juga tidak luput dari pandangan Walhi Aceh yang pernah mendesak untuk pihak setempat untuk menindak kegiatan pembalakan liar. “Aktivitas ini terus terjadi, membuktikan pengamanan dan pengawasan hutan belum maksima. Polda Aceh harus melakukan penindakkan sehingga kayu-kayu dari TNGL tidak lagi ditebang,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur. Ia juga menambahkan bawah pembalakan liar di hutan sekitar TNGL tidak bisa dicegah jika pihak TNGL dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh bekerja sendirian. Perlu adanya upaya gabungan dengan pihak lainnya. “Pengamanan harus benar-benar dilakukan sehingga kegiatan ilegal tidak lagi terjadi,” katanya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
DJAZ. 97svf9twot.pages.dev/5597svf9twot.pages.dev/9497svf9twot.pages.dev/34597svf9twot.pages.dev/33397svf9twot.pages.dev/6797svf9twot.pages.dev/36497svf9twot.pages.dev/42297svf9twot.pages.dev/497
pada hutan gunung leuser terdapat khas hutan